Keberadaan pembuat gamelan atau tukang laras tak banyak ditemui di Mojokerto. Selain keberadaannya yang sedikit, juga karena keahlian tersebut tidak mudah dipelajari semua orang. Salah satu tukang laras yang bisa ditemui di Mojokerto adalah Samiaji.
DI depan rumahnya di Sawo Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto, Samiaji sedang asyik dengan aktivitasnya. Kedua tangannya terlihat sibuk memperbaiki bonang. Tangan kiri memegangi bonang dan tangan kanan terus mengayunkan palu ke arah bonang.
Dari gerak tangannya, nampak kalau pria yang kini sudah menjadi buyut itu udah mahir. Sesekali tangannya berhenti mengayunkan palu yang selanjutnya menabuh pelan bonang di tangan kirinya. Itu dilakukannya untuk mengatur nada.
Samiaji yang mengaku lupa dengan tanggal maupun bulan kelahirannya itu sudah bertahun-tahun menggeluti pembuatan gamelan. Kemahirannya itu tak begitu saja diperoleh. Namun, harus melalui proses panjang dimulai dari dirinya lulus Sekolah Rakyat (SR) atau setingkat SD. Masih melekat dalam ingatannya, kala itu tahun 1962. ”Ini saya warisi dari bapak saya Radis. Sejak dia meninggal, saya yang meneruskan,” ungkap Samiaji.
Tak lama berselang, dia bangkit dari aktivitasnya itu lalu masuk ke dalam ruangan berdinding bambu. Di dalam dia langsung menuju sebuah perapian. Dengan tetap mengenakan topi, dia mulai memulai pembakaran. Dalam sekejap, api mulai menyala. Kobaran dan percikan bunga-bunga api yang muncul akibat benturan dengan bonang yang dibakar tak membuatnya takut. Dengan tenang, Samiaji membakar sebuah bonang yang menjadi pesanan orang Malang. ”Tak mudah untuk bisa menjadi pembuat gamelan ini. Butuh ketelatenan dan kesabaran,” katanya.
Saking lamanya menggeluti pembuatan gamelan itu, Samiaji sudah mempunyai pelanggan. Sebagian besar yang datang untuk memesan, servis ataupun menyetel bonangnya yang sudah fals, justru berasal dari luar Mojokerto. Antara lain Malang, Lamongan, Nganjuk dan Probolinggo. ”Malah yang dari Mojokerto jarang,” ungkapnya pria yang sudah dikarunia lima cucu ini.
Pembuatan gamelan, khususnya bonang biasanya menggunakan bahan baku tima dan tembaga dengan takaran tiga kilogram tembaga dan satu kilogram timah. Selama ini, bahan tersebut dibeli dari Surabaya. Dari bahan dasar itu, lalu dilebur. Kemudian dibakar hingga menjadi padat dengan cetakan mirip kue pukis berukuran kecil. ”Dari bentuk itu, kami lalu menggemblengnya (memproses pembuatan dengan palu),” katanya.
Selama menggembleng itulah, diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Sebab, dari bahan berbentuk kue pukis kecil itu, menggunakan palu berusaha dibentuk menjadi bonang sesuai ukuran. Dalam sehari, kalau sudah siap bahan baku, dia bisa menghasilkan dua buah bonang lengkap dengan nadanya. ”Yang paling membutuhkan keahlian adalah mengatur nadanya,” katanya.
Karena sudah lama bergelut dengan pembuatan alat musik itu, Samiaji mengaku dalam menyetel (mengatur) nada mengandalkan perasaan. ”Kalau membuat satu bonang ongkosnya bisa Rp 500 ribu. Kalau hanya nyetel, untuk 1 set Rp 500 ribu,” katanya sembari menunjuk ke arah bonang di depannya.
Selain bonang, saat itu dia juga menerima pesanan saron, salah satu alat musik pelengkap gamelan berbentuk lempengan. ”Kalau untuk pembuatan yang ini, mudah. Tinggal mencetak dan mengatur nadanya,” katanya. Sejalan dengan orang tuanya yang mewariskan kemahirannya membuat gamelan, dia juga telah mengader cucunya.
contoh lain Usaha Slamet Asmorohadi sendiri sudah puluhan tahun. Ia melayani berbagai macam jenis gamelan, khususnya gamelan jawa. Seperangkat gamelan yang terdiri antara lain gong, bonang, gender, Kendang dan Kenong dengan bahan baku besi dijual seharga Rp 30 juta. Sedangkan seperangkat gamelan yang terbuat dari bahan kuningan dijual seharga Rp 150 juta.
Tiap bulan, omset dalam pembuatan gamelan sekitar Rp 15 juta. Walau pesanan berkurang, Slamet masih mampu mempekerjakan 10 orang. Ia memang harus mempertahankan para karyawan, pasalnya untuk membuat seperangkat gamelan perlu banyak tenaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar